Setelah naskah itu tidak disimpan Mbah Mad Marta, naskah itu diberikan ke juru kunci Makam Wirasaba, disimpan di atas meja kecil di dalam peti kayu mirah. Yang menurutnya sangat rawan hilang.
Naskah yang memiliki sembilan puluh halaman tersebut langsung ia foto menggunakan smartphone dan dicetak.
“Meskipun hasil foto saya cetak masih lumayan terbaca. Banyak yang meragukan terjemahan saya, saya bukan ahli bahasa. Saya sangat terbuka untuk menerima masukan teman-teman ikut menerjemahkan ini nanti jadi sumber pelatinan dari naskah huruf Jawa ke pelatinan terjemahan. Jadi bisa saling mengoreksi,” pintanya.
Naskah Turunan Sejarah Wirasaba ditulis huruf jawa ketebalan sembilan puluh halaman dalam empat belas tembang macapat.
Pertama ditulis Candra Sengkala Swara Naga Giri Sangi. Kata-kata Sangi menurut Prof. Sugeng seharusnya Swara Naga Giri Nabi, yang berarti 1784 Jawa atau 1858 Masehi. Ia menilai ada kemiripan naskah Wirasaba dengan Naskah Martadirejan.
“Jadi ada kemiripan naskah Wirasaba dengan naskah Martadirejan. Naskah Martadirejan yang ditulis oleh suruhan Adipati Martadireja satu kemungkinan ditulis tahun 1816 atau 1826. Dua naskah ini termasuk naskah tua,” ungkapnya.
Dalam naskah Babad Banyumas Wirasaba terdapat pupuh macapat beserta artinya.
Ada lima pantangan yang diucapkan oleh Bupati Wirasaba Wargoutomo 1 dalam serat babad Banyumas Wirasaba dalam Metrum Megatruh. Berikut isi dari pantangannya:
1. “Anak putu aja anak kang met mantu wong ing Toyareka” yang artinya orang wirasaba tidak boleh menikah dengan orang toyareka.
2. “Lan ojo nganggo ing mbesuk jaran dawuk abrit” yang artinya jangan menaiki kuda yang berbulu dawuk abang (perpaduan warna merah dan hitam).
3. “Lawang ojo nganggo bale bapang” yang artinya jangan membangun balai bapang atau balai malang.
Tampilkan Semua
