Bedah Buku dan Cerita Unik Pencarian Naskah Tua Babad Banyumas Wirasaba

Kang Nass saat memperlihatkan foto Mbah Mad Marta dalam buku Babad Banyumas Wirasaba yang ditulisnya (Foto Asep)
Kang Nass saat memperlihatkan foto Mbah Mad Marta dalam buku Babad Banyumas Wirasaba yang ditulisnya (Foto Asep)

Banyumas, CILACAP.INFO – Belasan pemuda pegiat dan pemerhati sejarah babad Banyumas antusias menyimak cerita perjalanan pencarian naskah tua Babad Banyumas Wirasaba dari seorang budayawan Banyumas.

Mereka datang pagi untuk saling membahas sejarah dan berbagi bertukar kisah dalam kegiatan bedah buku Babad Banyumas Wirasaba.

Kegiatan bedah buku Babad Banyumas Wirasaba bertempat di Taman Baca Masyarakat (TBM) Bale Pustaka Cahaya milik budayawan Banyumas, Nassirun Purwokartun akrab disapa Kang Nass yang berada di Desa Mandirancan Kecamatan Kebasen Kabupaten Banyumas pada Minggu, 14/12/2025.

Kang Nass berbagi cerita uniknya saat blusukan mencari naskah tua Babad Banyumas Wirasaba.

“Dahulu ketika Prof. Sugeng menjadi guru besar Universitas Muhammadiyah Purwokerto (UMP) beliau mengumpulkan 101 naskah, saya blusukan 75 naskah itu saya dapatkan dari koleksinya dr. Sudarmaji, karena saya pekewuh kalau minta ke Prof. Sugeng, akhirnya saya mencari sendiri dapat sekitar seratus lima puluhan naskah,” ungkapnya.

Menurut Prof. Sugeng naskah tersebut yang paling tua meskipun ditulis kemungkinan sudah turunan yang ke 6 sehingga naskah aslinya sudah tidak ada.

“Naskah aslinya tidak ditemukan. Yang ditemukan naskah salinan ke enam yang ditulis tahun 1956 oleh Mulyadi Krama, setelah ia meninggal naskah itu sejak tahun 70an mungkin dititipkan keponakannya yang bernama Mad Marta,” lanjut Kang Nass.

Ketika tahun 2019 ia pergi ke kediaman Mbah Mad Marta di Wirasaba untuk melacak naskah itu apakah masih ada atau tidak. Mbah Mad Marta sosok yang diyakini masih memyimpan naskah tua tersebut.

Hal unik terjadi ketika ia mengetuk pintu rumah Mbah Mad Marta.

“Saya ketuk rumahnya Mad Marta, didalam itu seperti ada suara ngobrol seru sekali keras sekali, sampai tiga kali saya ketuk tidak ada yang keluar,” kenangnya.

Kang Nass berprinsip jika tiga kali tidak ada yang keluar rumah dirinya balik kanan kembali pulang.

“Pas lagi ke parkir motor, tiba-tiba ada ibu-ibu dari dalam rumah keluar dan saya dipersilahkan masuk, saya bilang saya lagi melacak jejak babad Banyumas Wirasaba, dan ternyata perempuan itu adalah anaknya Mad Marta, saya lupa namanya, di Desa Wirasaba Kecamatan Bukateja Kabupaten Purbalingga,” jelas Kang Nass.

Ternyata saat ia sedang mengetuk pintu dan terdengar seperti orang lagi mengobrol kencang itu adalah Mbah Mad Marta.

Diceritakan, saat tahun 2019 Mbah Mad Marta itu sudah dalam kondisi kurang normal, sehingga seperti seolah-olah sedang mendalang, dan dalam kondisi sudah tidak kuat pakai baju, merasa kepanasan, dan sudah pakai kursi roda karena tidak bisa jalan dan sudah tidak bisa diajak berkomunikasi.

“Sayangnya, karena Mad Marta sudah tidak bisa diajak komunikasi, anaknya juga tidak tahu tentang naskah itu. Saya minta foto buat kenang-kenangan akhirnya dipakaikan sarung, tapi setelah di foto sarungnya dilepas lagi,” kenang Kang Nass sambil menunjukkan foto di halaman depan buku Babad Banyumas Wirasaba.

Kang Nass merasa sia-sia, karena tidak bisa mendapatkan naskah itu, yang ternyata naskahnya sedang dipinjam.

Tahun 2020, ia diundang Dinas Arpusda (Arsip dan Perpustakaan Daerah) menjadi pembicara untuk festival pameran Dinas Arpusda seluruh Jawa Tengah di Purwokerto.

Saat ia berkeliling ke semua stand sampailah di stand Dinas Arpusda Kabupaten Purbalingga, ia langsung teringat naskah yang pernah ia minta kepada Mbah Mad Marta.

“Saya langsung ingat naskahnya Mad Marta, katanya dalam proses pengembalian tapi pengembaliannya bukan ke Mad Marta tapi ke Carik Desa,” ungkap Kang Nass.

Dari Dinas Arsip Daerah ia mendapatkan buku. Yang ternyata itu adalah naskah milik Mbah Marta sudah dijadikan buku. Judulnya Turunan Sejarah Wirasaba.

Maksud dari turunan ialah salinan, menurun. Judul aslinya Sejarah Wirasaba. Buku tersebut merupakan salinan ke 6, jadi disebut Turunan Sejarah Wirasaba.

“Di tahun 2021, saya sowan ke cariknya, ternyata naskahnya sudah dikembalikan ke Mad Marta tapi pada waktu itu ternyata Mad Marta sudah meninggal. Pihak keluarga tidak ada yang mau menyimpan, karena menurut mitos yang dipercaya oleh mereka bahwa, kalau tidak bisa membaca naskah babad tersebut dan tidak selesai dalam satu malam itu akqn mendapatkan bencana marabahaya dan untuk membacanya juga butuh biaya. Jadi Senen Kliwon , Jumat Kliwon kalau yang tidak punya uang bikin slametan tumpeng tapi dagingnya harus ayam bulu putih, kalau punya uang cukup menyembelih daging kambing putih,” jelas Kang Nass.

Menurut Kang Nass, semenjak Mad Marta menyimpan naskah sampai kemudian meninggal ternyata tidak ada satu orang pun di Desa Wirasaba yang pernah membacanya.

Saat ia sedang melakukan proses menerjemahkan dan ingin mencocokkan terjemahannya dengan orang Wirasaba yang sudah membacanya.

Dengan cara melacak 7 orang yang itu adalah teman-teman Mad Marta yang sering datang ke rumahnya.

“Dari pengakuan tujuh orang tersebut tidak ada yang pernah membacanya,” tuturnya.

Alasan tersebut membuat ia menulis di belakang buku Babad Banyumas Wirasaba: Di Desa Wirasaba tersimpan sebuah naskah tua yang ditulis tahun 1858 dan disalin tahun 1956, sayang di tempat naskah tersebut di simpan belum ada satu orang pun yang telah membacanya.

“Dari mana kita tahu naskah Babad Wirasaba ditulis tahun 1858 itu ada pada naskahnya,” katanya.

Setelah naskah itu tidak disimpan Mbah Mad Marta, naskah itu diberikan ke juru kunci Makam Wirasaba, disimpan di atas meja kecil di dalam peti kayu mirah. Yang menurutnya sangat rawan hilang.

Naskah yang memiliki sembilan puluh halaman tersebut langsung ia foto menggunakan smartphone dan dicetak.

“Meskipun hasil foto saya cetak masih lumayan terbaca. Banyak yang meragukan terjemahan saya, saya bukan ahli bahasa. Saya sangat terbuka untuk menerima masukan teman-teman ikut menerjemahkan ini nanti jadi sumber pelatinan dari naskah huruf Jawa ke pelatinan terjemahan. Jadi bisa saling mengoreksi,” pintanya.

Naskah Turunan Sejarah Wirasaba ditulis huruf jawa ketebalan sembilan puluh halaman dalam empat belas tembang macapat.

Pertama ditulis Candra Sengkala Swara Naga Giri Sangi. Kata-kata Sangi menurut Prof. Sugeng seharusnya Swara Naga Giri Nabi, yang berarti 1784 Jawa atau 1858 Masehi. Ia menilai ada kemiripan naskah Wirasaba dengan Naskah Martadirejan.

“Jadi ada kemiripan naskah Wirasaba dengan naskah Martadirejan. Naskah Martadirejan yang ditulis oleh suruhan Adipati Martadireja satu kemungkinan ditulis tahun 1816 atau 1826. Dua naskah ini termasuk naskah tua,” ungkapnya.

Dalam naskah Babad Banyumas Wirasaba terdapat pupuh macapat beserta artinya.

Ada lima pantangan yang diucapkan oleh Bupati Wirasaba Wargoutomo 1 dalam serat babad Banyumas Wirasaba dalam Metrum Megatruh. Berikut isi dari pantangannya:

1. “Anak putu aja anak kang met mantu wong ing Toyareka” yang artinya orang wirasaba tidak boleh menikah dengan orang toyareka.

2. “Lan ojo nganggo ing mbesuk jaran dawuk abrit” yang artinya jangan menaiki kuda yang berbulu dawuk abang (perpaduan warna merah dan hitam).

3. “Lawang ojo nganggo bale bapang” yang artinya jangan membangun balai bapang atau balai malang.

4. “Lan ojo ono kang mangan iwak banyak” yang artinya jangan masak ikan daging angsa.

5. “Aja lunga dina paing” yang artinya jangan bepergian hari pasaran Pahing.

“Larangan keempat dan kelima saya masih mencari dan melacak sumber mana yang menyebutkan pindang iwak banyak dan Sabtu Pahing karena dalam naskah babad Mertadiredjan menyebut hari Pahing dan ternyata babad Wirasaba hari Pahing,” ungkap Kang Nass.

Diakhir naskah dikisahkan siapakah yang menulis naskah babad, yaitu Nyai Wiramantri Wirasaba nurunaken Wiramantri loro nurunaken Wirapada nurunaken Wiracandra nurunaken Wiratirta Lurah Wirasaba nurunaken Mulyadikrama Lurah Wirasaba nurunaken Pensiunan Mantri Pensiun Mulyareja. Mulyareja lair Senen Kliwon 21 Desember 1894 tahun 46 ngili ing Wirasaba terus manggon ing Wirasaba. Ditulis 24 Agustus 1956.

“Jadi naskah ini adalah salinan Mulyareja yang kemudian disimpan oleh Mad Marta. Bagi teman-teman yang ingin datang ke jejak Wirasaba hari ini kabur sejarahnya, titiknya dulu rumah kadipatennya dimana kita tidak tahu, karena kita hanya menemukan jejak Dusun Kecepit yang menjadi makam Bupati Wirasaba,” pungkas Kang Nass sembari menyeruput secangkir teh hangat.

Diakhir acara bedah buku Babad Banyumas Wirasaba dilakukan diskusi saling berbagi cerita sejarah Babad Banyumas Wirasaba.

Kang Nass berharap buku yang ditulisnya terbaca oleh generasi penerus. (Asep)

Cilacap Info
IKUTI BERITA LAINNYA DIGOOGLE NEWS

Berita Terkait