Beberapa korporasi memang sudah mulai bergeser paradigmanya. Mereka sadar, kepentingan korporasi tidak hanya menyangkut kelangsungan bisnis itu sendiri, namun juga keberlanjutan lingkungan dengan menjaga bumi tetap hijau. Di masa depan, korporasi yang bertahan adalah yang mampu menyesuaikan diri dengan nilai-nilai keberlanjutan. Jika mereka masih menggunakan model bisnis lama—yang hanya mengejar keuntungan tanpa memikirkan lingkungan—maka bersiaplah ditinggalkan konsumen.
Namun demikian, belum semua korporasi bergerak ke arah tersebut. Masih banyak yang berpikir pendek—mengutamakan keuntungan sesaat tanpa peduli pada dampak jangka panjang. Kita masih sering menyaksikan eksploitasi alam dan manusia yang dibungkus dengan dalih pembangunan. Ironis, bukan?
Maka dari itu, kembali ke pertanyaan awal: apakah korporasi benar-benar telah bertransformasi dari perusak menjadi pelopor pelestarian?
Jawabannya: belum semuanya. Namun, tekanan publik semakin besar, hukum semakin kuat, dan konsumen semakin kritis. Korporasi tidak lagi bisa bersembunyi di balik CSR yang hanya tempelan. Transformasi sejati adalah ketika tanggung jawab lingkungan menjadi bagian dari operasional harian perusahaan—bukan sekadar proyek tahunan untuk kepentingan foto dan laporan.
Jika konsumen juga semakin kritis, maka perusahaan tidak punya pilihan selain berubah secara nyata. Sebab di era keterbukaan saat ini, kepalsuan mudah terbongkar. Korporasi yang hanya bermain gimmick akan cepat ditinggalkan.
Lingkungan hidup bukan hanya urusan para aktivis. Ini adalah urusan kita semua—termasuk para pemilik modal.
Artikel ini ditulis oleh Kurnia Ayu Agustin, Mahasiswi Prodi Hukum, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Tidar
Tampilkan Semua