Magelang – Kita semua tahu, kata tanggung jawab itu berat. Bahkan bagi manusia, tidak mudah untuk selalu konsisten dalam menjalankannya—apalagi bagi perusahaan besar yang keuntungan tahunannya mencapai triliunan rupiah, jelas pelaksanaan tanggung jawab menjadi sebuah beban. Namun, di tengah krisis iklim yang semakin nyata dan kualitas udara yang semakin memburuk, pertanyaannya sekarang: apakah korporasi benar-benar sudah patuh terhadap hukum? Atau jangan-jangan mereka hanya pandai bermain citra?
Dulu, hukum lingkungan sering kali dianggap sebagai formalitas administratif. Asal punya dokumen AMDAL, seolah semuanya selesai. Tapi sekarang, pendekatannya mulai berubah. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009, misalnya, menjadi payung dan landasan hukum yang serius. Korporasi bisa dituntut oleh hukum tanpa harus dibuktikan kesalahannya secara langsung. Jika mencemari lingkungan, mereka wajib bertanggung jawab di depan hukum. Titik.
Namun, teori hukum di atas kertas memang selalu tampak rapi. Praktik di lapangan? Itu cerita lain. Hukum bisa saja tajam dalam tulisan, tetapi tumpul dalam pelaksanaan. Penegakan hukum yang lemah, koordinasi antar lembaga yang tidak sinkron, hingga tekanan ekonomi yang membuat hukum terkesampingkan, menjadi hambatan utama. Maka, meskipun hukum sudah semakin galak, kenyataannya masih banyak korporasi yang dengan enteng merusak lingkungan demi mengejar target keuntungan.
Lalu muncullah konsep korporasi yang terdengar keren: Corporate Social Responsibility (CSR). Banyak korporasi kini berlomba-lomba memamerkan program hijau mereka—mulai dari menanam pohon, membersihkan pantai, hingga meluncurkan produk yang katanya ramah lingkungan. Namun, yang patut ditanyakan adalah: apakah itu sungguh bentuk komitmen suatu korporasi? Ataukah sekadar strategi pemasaran yang berkedok transformasi tanggung jawab?
Transformasi tanggung jawab lingkungan dalam dunia korporasi seharusnya tidak berhenti pada pencitraan atau kewajiban hukum semata. Ini seharusnya menjadi komitmen jangka panjang—bagian dari nilai dan identitas korporasi itu sendiri. Kita ingin melihat korporasi yang tidak hanya pandai berbicara, tetapi juga benar-benar menjalankan bisnis dengan mempertimbangkan dampaknya terhadap lingkungan.
Tampilkan Semua