Magelang – Kita hidup di zaman serba digital. Mau pesan makan? Tinggal klik. Mau nonton film? Streaming. Tapi, lucunya, saat mau urus administrasi ke instansi pemerintah, rasanya masih seperti hidup di tahun 1990-an. Fotokopi KTP, antre berjam-jam, dan kadang malah disuruh balik lagi besok. Padahal katanya, pemerintah sudah go digital. Jadi, pertanyaannya: digitalisasinya di mana?
Jangan salah paham dulu. Pemerintah memang sedang gencar bicara soal digitalisasi dan reformasi hukum administrasi. Tapi dalam praktiknya, banyak yang masih setengah-setengah. Kalau digitalisasi dilakukan tanpa reformasi hukum yang serius, itu cuma jadi topeng keren—tapi dalamnya kosong. Parahnya lagi, bisa menimbulkan ketimpangan baru yang justru menyulitkan masyarakat.
Digitalisasi Butuh Hukum yang Ikut Bergerak
Digitalisasi pemerintahan seharusnya tidak cuma soal aplikasi dan sistem otomatisasi. Yang lebih penting justru payung hukumnya. Tanpa reformasi hukum administrasi, digitalisasi malah bisa bikin pusing. Misalnya, siapa yang bertanggung jawab kalau datamu bocor? Apa hakmu kalau sistemnya error dan merugikan?
Inilah kenapa kita butuh sistem hukum administrasi yang adaptif dan responsif terhadap teknologi. Hukum bukan cuma alat pembatas, tapi penjaga keadilan. Maka, prinsip-prinsip hukum seperti legalitas, akuntabilitas, dan transparansi harus tetap jadi fondasi, meskipun semuanya sudah pindah ke layar digital.
Infrastruktur Digital Sudah Siap, SDM-nya Gimana?
Kita sering terjebak dalam euforia aplikasi baru: e-KTP, e-Samsat, e-Budgeting, e-whatever. Tapi siapa yang mengoperasikannya? Masih banyak aparatur sipil negara yang belum melek teknologi, bahkan masih gagap digital. Kalau sistemnya canggih tapi petugasnya bingung, ya hasilnya tetap kacau.
Belum lagi soal infrastruktur. Di kota besar mungkin semua lancar. Tapi bagaimana dengan daerah-daerah pelosok yang sinyal saja masih putus-putus? Apakah mereka juga kebagian manfaat dari digitalisasi ini, atau justru makin tertinggal karena sistem makin canggih tapi makin tak terjangkau?
Jangan Lupakan Risiko Digital
Digital itu cepat, tapi juga rawan. Semakin banyak data tersimpan di server, semakin besar pula ancaman kebocoran dan penyalahgunaan. Tanpa perlindungan hukum yang kuat, digitalisasi bisa jadi bumerang. Ingat, transparansi itu penting, tapi keamanan data pribadi juga tidak kalah krusial.
Makanya, dalam membangun sistem administrasi digital, pemerintah harus mempertimbangkan risiko-risiko ini secara serius. Jangan sampai niat baik berubah jadi masalah baru.
Integrasi, Bukan Sekadar Tambah Aplikasi
Pemerintah kadang suka terlalu semangat bikin aplikasi sendiri-sendiri. Akibatnya? Data tersebar di mana-mana, regulasi saling tumpang tindih, dan publik bingung harus akses yang mana. Yang dibutuhkan sekarang bukan aplikasi baru, tapi integrasi—baik dari sisi hukum maupun sistem teknisnya.
Bayangkan kalau semua data administrasi, mulai dari catatan kependudukan, pajak, hingga bantuan sosial bisa terintegrasi dengan aman dan efisien. Proses pelayanan jadi lebih cepat, masyarakat tidak perlu ke banyak tempat, dan potensi korupsi pun bisa ditekan. Tapi semua itu butuh komitmen dan perencanaan matang.
Digitalisasi Bukan Sekadar Gaya-Gayaan
Digitalisasi pemerintahan bukan proyek gaya-gayaan agar terlihat modern. Ini adalah investasi jangka panjang demi menciptakan sistem administrasi publik yang lebih adil, efisien, dan terpercaya. Tapi agar semua itu bisa tercapai, reformasi hukum administrasi harus jadi prioritas.
Digitalisasi tanpa hukum hanya akan menghasilkan ketidakpastian. Sedangkan hukum tanpa adaptasi teknologi akan tertinggal zaman. Keduanya harus jalan bareng.
*) Artikel ini adalah kiriman Gendis Maharani, Mahasiswa Prodi Hukum, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Tidar.