Dalam berbagai naskah kuno Eropa, terutama dari era penjelajahan dan kolonialisme awal, memang diakui mereka banyak melakukan eksplorasi terkait potensi kekayaan alam, kebudayaan Nusantara yang berkembang saat itu, lalu mereka merekam dalam cataan-catatan, menuliskan dalam bahasa mereka, dan bahkan mendokumentasikannya.
Dalam dokumentasi yang kemudian disebut manuskrip maupun buku, yang memuat data kumpulan informasi, biasanya berfokus pada pos-pos perdagangan, kerajaan-kerajaan besar, atau sumber daya alam di berbagai wilayah dan budaya di seluruh dunia, termasuk Indonesia.
Adapun hasil penjelajahan apa yang mereka gali atas wilayah-wilayah di Nusantara, terantologi baik dalam bentuk kumpulan maupun laporan-laporan, yang disebut manuskrip atau buku. Maka manuskrip adalah produk budaya mereka yang hasilnya masih dapat kita pelajari saat ini, melalui arsip yang ditinggalkannya itulah kita mengetahui betapa peradaban kita di masa lalu begitu unggul dan tinggi.
Namun demikian walau tidak secara spesifik, dan detail, apalagi terperinci untuk menuliskan situs-situs peninggalan purbakala, secara tersirat melalui catatan-catatan mereka menginformasikan muatan potensi yang ada dalam suatu wilayah dengan gambaran umumnya saja.
Apalagi situs megalitik yang berada di ketinggian gunung dan pedalaman seperti ‘Mandala Mata Bumi’ Daja Loehoeur, sepertinya di luar konteks mereka yang lebih luas.
Banyak yang menganggap bahwa situs megalitik sebagai warisan budaya yang mencerminkan karakter dan budaya bangsa, serta peradaban masa lalu, yang bernilai bagi kepentingan sejarah dan pendidikan, yang lebih sering didokumentasikan dan dikaji ke dalam konteks arkeologi dan sejarah lokal Indonesia, baik melalui penelitian yang dilakukan oleh para arkeolog baik kedinasan maupun lembaga pendidikan, dari kajian ilmiah para akademisi seperti yang tercatat dalam berbagai jurnal dan repositori budaya nasional.
Tampilkan Semua
