TKI Jadi Korban Perdagangan Manusia, Salah Pemerintah atau Mimpi Orang Kecil?

TKI Jadi Korban Perdagangan Manusia Salah Pemerintah atau Mimpi Orang Kecil
Ilustrasi (sumber: Dian Sanitri).

Magelang – Belakangan ini media sosial diramaikan kabar tenaga kerja Indonesia (TKI) yang dijebak, disekap, dan diperdagangkan di Kamboja. Mereka berangkat dengan harapan hidup yang lebih baik, namun malah terjebak dalam jaringan perdagangan manusia. Dijanjikan gaji tinggi dan proses kerja yang mudah, para korban justru mengalami kekerasan fisik, tekanan psikologis, bahkan eksploitasi tanpa batas.

Yang bikin miris, ini bukan kali pertama kasus semacam ini mencuat. Tapi seperti biasa, negara baru tampak sibuk saat kasusnya viral. Pertanyaannya, siapa yang harus disalahkan—pemerintah yang gagal melindungi, atau rakyat kecil yang terpaksa bermimpi terlalu tinggi?

Realita Pahit di Tanah Sendiri

Tak bisa dimungkiri, banyak warga Indonesia memilih bekerja ke luar negeri karena sulitnya mencari kerja di dalam negeri. Persyaratan kerja di toko saja sekarang minimal lulusan SMA/SMK dengan pengalaman dua tahun. Padahal, banyak yang baru lulus sekolah dan belum pernah bekerja. Lalu bagaimana dengan lulusan SMP atau SD?

Kondisi seperti ini membuat masyarakat mudah tergoda tawaran kerja ke luar negeri yang terkesan mudah dan menjanjikan. Apalagi jika melalui agen yang mengklaim “jalan cepat”, tanpa banyak syarat. Namun kenyataannya, banyak dari mereka justru dijual ke jaringan penipuan dan eksploitasi.

Bukan karena bodoh mereka tertipu, tapi karena tidak punya pilihan lain. Dalam kondisi terdesak, mimpi kecil tentang hidup yang lebih baik bisa berubah jadi tragedi besar.

Di Mana Negara Saat Warganya Dieksploitasi?

Pemerintah Indonesia sebenarnya punya regulasi soal perlindungan pekerja migran. Tapi regulasi itu tidak ada artinya kalau pengawasan lemah dan jalur resmi tidak disosialisasikan dengan serius. Agen ilegal masih bebas merekrut, dan masyarakat yang kurang informasi jadi sasaran empuk.

Yang lebih menyakitkan, kasus ini bukan cuma soal penipuan, tapi masuk kategori perdagangan manusia. Harusnya negara langsung turun tangan sejak awal. Sayangnya, yang sering terjadi justru sebaliknya—negara baru muncul setelah korban berteriak, setelah video viral tersebar di TikTok, atau setelah berita muncul di televisi.

Padahal, tugas negara adalah melindungi rakyatnya, bukan sekadar bereaksi ketika semuanya sudah terlambat.

Evaluasi Sekadar Kata atau Tindakan Nyata?

Setiap kali ada kasus TKI dieksploitasi, kita dengar kata “evaluasi”. Tapi nyatanya, kasus terus berulang. Ini bukan lagi soal memperbaiki dokumen atau menyusun ulang peraturan. Ini soal kemauan politik untuk benar-benar membenahi sistem ketenagakerjaan.

Evaluasi nyata berarti membuka akses kerja di dalam negeri, mempermudah syarat kerja tanpa menurunkan kualitas, serta memperkuat jalur resmi pengiriman tenaga kerja ke luar negeri. Edukasi kepada masyarakat tentang risiko dan cara aman menjadi pekerja migran juga harus digencarkan, bukan hanya saat ada kasus.

Selama rakyat kecil tidak punya pekerjaan layak di negeri sendiri, mereka akan terus mencari celah—dan agen tak bertanggung jawab akan terus memanfaatkan celah itu.

Negara Harus Hadir, Bukan Sekadar Reaktif

Perdagangan manusia bukan sekadar risiko kerja, tapi kejahatan kemanusiaan. Mereka yang jadi korban tidak hanya kehilangan uang dan masa depan, tapi juga martabat. Dan di balik semua itu, negara seharusnya hadir sejak awal.

Pemerintah harus hadir bukan hanya sebagai penonton yang sibuk ketika lampu kamera menyala, tapi sebagai pelindung yang aktif sejak proses rekrutmen, keberangkatan, hingga pengawasan di negara tujuan. Karena jika negara terus abai, maka pertanyaan “salah siapa?” akan terus mengarah pada mereka yang seharusnya melindungi.

*) Artikel ini adalah kiriman Dian Sanitri, Mahasiswi Prodi Hukum, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Tidar.

Cilacap Info
IKUTI BERITA LAINNYA DIGOOGLE NEWS

Berita Terkait