Sepak Bola Politik Dalam Pilkada Purbalingga

ilustrasi pilkada
ilustrasi pilkada

Laiknya pertandingan sepak bola, demikian politik kita di tanah air. Perhelatan pilkada yang akan digelar semacam melihat pertandingan sepak bola. Ada banyak stakeholder yang terlibat di dalamnya.KPU sebagai wasit. Banwaslu sebagai dewan pengawas pertandingan.

Pengurus Partai politik sebagai badan pendukung kandidat dan sekaligus sebuah tim kesebelasan, ketua Tim pemenangan sebagai kapten tim. Anggota partai dan simpatisan sebagai suporter.

TNI dan polri bekerja sama dengan satgas partai mengamankan jalannya pertandingan dan kandidat calon bupati dan wakil bupati adalah duet bintang lapangan harus menjadi pemain terbaik dalam produktivitas menghasilkan gol dan penuh keindahan.

Pertarungan Resmi Tiwi Vs Oji di Pilkada Purbalingga

Minggu pagi(6/9) Pasangan Oji Zeni mendaftar resmi ke vs KPU Purbalingga. Pasangan Oji Zeni diusung PKB, Gerindra, PPP, Demokrat dan Nasdem via a vis dengan pasangan Tiwi Dono dari PDI-P, Golkar,PAN dan PKS pada pilkada 2020.

Sebelumnya, pada hari Jumat(4/9) pasangan pertahana Tiwi dan Dono telah mendaftar ke KPUD dan berkas dinyatakan lengkap. Pasangan pertahana merupakan besutan koalisi PDI-P dan Golkar yang kemudian didukung pecahan koalisi Pelangi (PKB dan P Gerindra).

PKS dan P Gerindra yang diprediksi banyak fihak akan membentuk poros ketiga dengan mengusung Adi Yuwono (P Gerindra) dan Fidloh Rofik Hananto(PKS) di sepuluh hari jelang pendaftaran akhirnya memilih jalan masing-masing.

PAN dan PKS bergabung dengan pertahana Tiwi-Dono. Sementara DPP PKB yang lebih kepincut dengan calon dari PPP yakni Zaini Makarim dan mendapat sokongan rekomendasi dari Nasdem, Demokrat dan PPP. Belakangan mendapat asupan tambahan dari P Gerindra.

Sehingga Pilkada di Purbalingga hanya diikuti dua Paslon. Menilik pertarungan pertahana yang mengusung tema lanjutkan dan Oji Zaini dengan koalisi perubahan, maka kita seperti sedang menyaksikan pertandingan sepakbola koalisi lanjutkan vs koalisi perubahan.

Pertarungan Pilkada akankah menyajikan pertandingan adu Program dan gagasan? Ya, itu terdiri rencana-rencana di depan. Dan semua tahu, setiap rencana bisa berubah, tergantung situasi dan kondisi. Artinya, program itu bisa hanya pemaparan janji. Bahkan harus dimaklumi bahwa janji itu juga sekedar harapan.

Nah, di sini titik kuncinya: Bila pemaparan harapan itu menarik hati, digoreng dengan rayuan, dibungkus bagus, suporter dan penonton jatuh hati, simpati sekaligus memberikan empati, dan semua siap berkorban membela pemain bernama cagub atau cabup, maka sorak suara di stadion bisa membahana langit. Itu menang.

***
Suporter sepak bola memiliki lorong sejarah tersendiri dengan tim yang diusungnya, ada ikatan emosional yang menuntun dirinya merasa bagian dari tim, kagum kepada bintang lapangannya, ada gairah kebanggaan, sekaligus menaikkan harga diri kolektif bersama tim.

Artinya ada poin-poin di perjalanan sejarah yang mengantarkan suporter membela Bahkan sanggup berkorban untuk timnya.

Di pilkada, keterkaitan sejarah antara pemilih dengan cagup atau cabup juga ada, tetapi tidak banyak. Terpilihnya Donald Trump membuktikan porak-porandanya fanatisme pemilih berdasarkan sejarah.

Semua kenal, Trump itu egois, kasar, merendahkan orang lain, merendahkan wanita, merendahkan orang kulit hitam, ucapan dan tindakannya kontroversial. Trump tidak dalam sejarah sebagai orang yang mendapat simpati, dikagumi apalagi dihormati.

Ia berkeras kepala naik, mencalonkan diri, dan … menang. Mengapa menang? Semua analis tahu, ia mengobral janji, melambungkan harapan bahwa kelak Amerika akan kuat. Hebat. Kulit putih lapisan menengah dan bawah tergiur, mereka memilih Trump.

Trump melaksanakan janjinya, perdagangan dunia diacak-acak, urusan nuklir Iran dicampakkan, imigran dilempar-lemparkan sampai anak terpisah dari orang tuanya, tapi apakah Amerika memang semakin kuat, hebat? Belum terbukti.

Lorong sejarah itu tadi, di pilkada tak perlu melihat poin-poin di lorongnya. Justru poin bisa bergantung pada sehari atau dua hari sebelum pencoblosan, adakah uang atau sembako yang diberikan oleh pemain?

Adakalanya, berkat lorong sejarah yang panjang hasil pilkada bisa membuat geleng-geleng kepala. Ikatan emosional yang sudah terjalin lama dan tinggi, kekaguman yang sudah terlanjur tumpah, meski seseorang calon pejabat itu jelas-jelas tersandung kasus korupsi, masyarakat tetap berbondong-bondong memilihnya.

Program dan gagasan? Ya, itu terdiri rencana-rencana di depan. Dan semua tahu, setiap rencana bisa berubah, tergantung situasi dan kondisi. Artinya, program itu bisa hanya pemaparan janji. Bahkan harus dimaklumi bahwa janji itu juga sekedar harapan.

Nah, di sini titik kuncinya: Bila pemaparan harapan itu menarik hati, digoreng dengan rayuan, dibungkus bagus, suporter dan penonton jatuh hati, simpati sekaligus memberikan empati, dan semua siap berkorban membela pemain bernama cagub atau cabup, maka sorak suara di stadion bisa membahana langit. Itu menang.

***
Suporter sepak bola memiliki lorong sejarah tersendiri dengan tim yang diusungnya, ada ikatan emosional yang menuntun dirinya merasa bagian dari tim, kagum kepada bintang lapangannya, ada gairah kebanggaan, sekaligus menaikkan harga diri kolektif bersama tim.

Artinya ada poin-poin di perjalanan sejarah yang mengantarkan suporter membela Bahkan sanggup berkorban untuk timnya.

Di pilkada, keterkaitan sejarah antara pemilih dengan cagup atau cabup juga ada, tetapi tidak banyak. Terpilihnya Donald Trump membuktikan porak-porandanya fanatisme pemilih berdasarkan sejarah.

Semua kenal, Trump itu egois, kasar, merendahkan orang lain, merendahkan wanita, merendahkan orang kulit hitam, ucapan dan tindakannya kontroversial. Trump tidak dalam sejarah sebagai orang yang mendapat simpati, dikagumi apalagi dihormati.

Ia berkeras kepala naik, mencalonkan diri, dan … menang.

Mengapa menang? Semua analis tahu, ia mengobral janji, melambungkan harapan bahwa kelak Amerika akan kuat. Hebat. Kulit putih lapisan menengah dan bawah tergiur, mereka memilih Trump.

Trump melaksanakan janjinya, perdagangan dunia diacak-acak, urusan nuklir Iran dicampakkan, imigran dilempar-lemparkan sampai anak terpisah dari orang tuanya, tapi apakah Amerika memang semakin kuat, hebat? Belum terbukti.

Lorong sejarah itu tadi, di pilkada tak perlu melihat poin-poin di lorongnya. Justru poin bisa bergantung pada sehari atau dua hari sebelum pencoblosan, adakah uang atau sembako yang diberikan oleh pemain?

Adakalanya, berkat lorong sejarah yang panjang hasil pilkada bisa membuat geleng-geleng kepala. Ikatan emosional yang sudah terjalin lama dan tinggi, kekaguman yang sudah terlanjur tumpah, meski seseorang calon pejabat itu jelas-jelas tersandung kasus korupsi, masyarakat tetap berbondong-bondong memilihnya.

***
Pilkada dan sepak bola, banyak persamaannya, banyak pula perbedaannya. Tergantung bagaimana seseorang memandang, dan bermain di dalamnya. Tak heran bila ada yang “me-sepakbola-kan” pilkada.

Kalah dan habis uang banyak, itu semacam taruhan biasa. Bila berhasil mengalahkan lawan lalu mendapatkan jabatan, kini tiba waktunya mengeruk uang kemenangan.
Sikap demikian bukan hanya milik cagub atau cabup yang diusung, tetapi diresapi oleh suporter di bawahnya.

Kalau pengusaha, ada kontrak jembatan atau bangunan sekolahan. Bila tokoh politik, ia akan mendesak anggaran, bila ia tokoh masyarakat ia akan meminta fasilitas.

Apakah kita akan sedemikian? Tidak. Islam menuntun, setiap tindakan selalu berorientasi pada tanggung jawab. Saat memilih, saat berada di bilik pencoblosan, entah sebagai pemain atau suporter, ada tanggung jawab yang harus dipikul.

Ada amanah yang harus dijunjung dengan kebenaran. Seorang muslim tidak akan memilih pemimpin karena penampilan dan janjinya, atau pemimpin yang menganggap pilkada hanya permainan taruhan, permainan untuk memuaskan diri sebagai petarung belaka.

***
Pilkada dan sepak bola, banyak persamaannya, banyak pula perbedaannya. Tergantung bagaimana seseorang memandang, dan bermain di dalamnya. Tak heran bila ada yang “me-sepakbola-kan” pilkada. Kalah dan habis uang banyak, itu semacam taruhan biasa. Bila berhasil mengalahkan lawan lalu mendapatkan jabatan, kini tiba waktunya mengeruk uang kemenangan.

Sikap demikian bukan hanya milik cagub atau cabup yang diusung, tetapi diresapi oleh suporter di bawahnya. Kalau pengusaha, ada kontrak jembatan atau bangunan sekolahan. Bila tokoh politik, ia akan mendesak anggaran, bila ia tokoh masyarakat ia akan meminta fasilitas.

Apakah kita akan sedemikian? Tidak. Islam menuntun, setiap tindakan selalu berorientasi pada tanggung jawab. Saat memilih, saat berada di bilik pencoblosan, entah sebagai pemain atau suporter, ada tanggung jawab yang harus dipikul.

Ada amanah yang harus dijunjung dengan kebenaran. Seorang muslim tidak akan memilih pemimpin karena penampilan dan janjinya, atau pemimpin yang menganggap pilkada hanya permainan taruhan, permainan untuk memuaskan diri sebagai petarung belaka.
Sepak bola cantik, pernah kita lihat di tim kesebelasan Brasil, Kamerun, dan Indonesia yang tak pernah juara dunia punya kekayaan lokalitas keindahan sepak bola di Papua yang suatu waktu akan mampu mewarnai perhelatan sepak bola dunia.

Indahnya sepak bola itu terletak karena unsur kerja sama, fair play (suportivitas), menyehatkan, saling berlomba lomba dalam kebajikan dan yang tak kalah unik dari sepakbola dunia ada pergerakan lalu lintas uang dalam memutar roda ekonomi, ada denyut pergerakan uang dari pengiklan, tiket, transfer pemain dll.

Yang perlu diperhatikan saat ini adalah masa pandemi. Pemerintah, sekarang tampaknya mencoba menerapkan standart protokol kesehatan yang ketat. Begitu ada indikasi peningkatan dan penyebaran virus, beberapa daerah langsung di lock down sebagai upaya menekan dan menjauhkan tingkat penyebaran virus.

Mengunci dengan mengkarantina di Rumah Sakit orang yang positif terkena virus, ternyata menjadi salah satu cara paling efektif dan itu yang masih berlaku hingga sekarang. Melawan waktu dan virus. Tiada ada jalan lain, berpacu dengan waktu yang terus berjalan dan kondisi “sehat” lokasi dan tempat laga pilkada pada tahun ini mewarnai keseharian.

Ada kemauan, pasti ada jalan. Aturan banwaslu yang terbaru tentang pembatasan jumlah orang berkumpul dikisaran 100 orang, ini sempat membuat was was pergerakan orang. Karena tanpa ada orang bergerak, situasi jalan raya sekarang, tidak musim gajian, tidak tanggal tua, hari-hari biasa sunyi nan sepi.

Harga-harga sedang tidak terjangkau masyarakat bawah, daya beli menurun. Keluar dari resesi ekonomi global sampai Desember oleh banyak pakar dengan jalan ekspansi. Dan pilkada sebagai perhelatan demokrasi menjadi tantangan yang menarik untuk sebagai salah satu jalan ke luar dari resesi ekonomi.

Pergerakan politik orang dengan suasana aman, riang gembira dan semangat membawa ide-ide baru yang cemerlang menyajikan harapan masa depan dengan semangat dan gagasan berkobar setidaknya mampu merubah keadaan.

Oleh karena itulah kesebelasan politik antar kandidat, penulis ajak untuk menyajikan permainan yang indah, enak ditonton dan mari jadikan event pilkada yang ada kita sikapi dengan kedewasaan dalam berpilkada. Pilihan boleh beda, namun semangat persatuan tetap kita jaga.

Siapakah mesias masa depan yang sedang dinanti oleh jutaan rakyat dari suatu wilayah kecil (lokal) untuk bisa merajut semangat persatuan, kerukunan dan pluralisme itulah sang pemimpin yang sejati yang siap dicoblos pada 9 Desember 2020. (***) Aji Setiawan.Aji Setiawan, ST.

Cilacap Info
IKUTI BERITA LAINNYA DIGOOGLE NEWS

Berita Terkait