Debt Collector Picu Kriminalitas, Indonesia Darurat Kejahatan Kedua di ASEAN

Hak Konsumen ketika diintimidasi Debt Collector
Hak Konsumen ketika diintimidasi Debt Collector

Jakarta, 26 Agustus 2025 – Pada Juni 2025, data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menunjukkan terdapat 3.858 pengaduan terkait perilaku debt collector yang berasal dari sektor fintech, atau yang lebih dikenal sebagai pinjol (pinjaman online).

Angka ini, yang mencakup intimidasi verbal, penyebaran data pribadi, penagihan ke kontak darurat, hingga kekerasan fisik, menunjukkan kesenjangan yang mengkhawatirkan antara regulasi yang ada dan praktik di lapangan.

Krisis ini telah memicu dampak finansial, psikologis, dan sosial yang serius. Meskipun OJK telah memperkuat regulasi, seperti POJK Nomor 22 Tahun 2023 tentang Perlindungan Konsumen dan Masyarakat, pelanggaran di lapangan masih terus terjadi.

Hal ini menimbulkan pertanyaan besar mengenai efektivitas pengawasan dan penegakan hukum terhadap lembaga keuangan dan pihak ketiga yang mereka pekerjakan.

Tuntutan Akuntabilitas Negara: Intervensi Komprehensif dan Penegakan Hukum

Skala krisis ini telah mencapai titik di mana negara harus mengambil tindakan tegas. Kasus-kasus kekerasan yang terus bermunculan, termasuk kasus penculikan dan pembunuhan seorang Kepala Cabang Bank BUMN di Jakarta oleh sekelompok debt collector, adalah bukti nyata bahwa ancaman ini tidak lagi sebatas intimidasi, melainkan tindak pidana serius. Kasus ini, bersama dengan insiden penagihan brutal lainnya seperti penganiayaan karyawan pabrik, menunjukkan betapa daruratnya situasi ini.

Sebagai respons, Komisi Hukum DPR mendesak agar negara tidak membiarkan intimidasi terhadap rakyat dan menegaskan bahwa hukum adalah pelindung masyarakat. Penertiban terhadap institusi dan kelompok premanisme yang berkedok debt collector harus menjadi prioritas.

Pendapat Ahli: Analisis Mendalam Mengenai Kekerasan dan Kriminalitas

Para ahli telah menyoroti dampak mendalam dari praktik penagihan yang agresif. Psikolog klinis Fitri Fausiah pernah menyampaikan bahwa teror dari pinjol dapat membuat korban mencapai titik di mana mereka “tidak tahu lagi harus bagaimana,” yang berujung pada keinginan untuk mengakhiri hidup.

Kriminolog Prof. Dr. Adrianus Meliala dalam beberapa wawancara media, seringkali menekankan bahwa kekerasan oleh debt collector adalah fenomena kriminal yang dipicu oleh faktor-faktor struktural, seperti tekanan dari perusahaan untuk menagih utang. Beliau berpendapat bahwa kurangnya pelatihan dan pengawasan mendorong mereka menggunakan cara-cara yang melanggar hukum.

Berdasarkan laporan dari LBH Jakarta, banyak korban telah mengajukan pengaduan. Jeanny Silvia Sari Sirati, Pengacara Publik di LBH Jakarta, menjelaskan bahwa gaya penagihan yang memaksa dan mengintimidasi dilakukan karena para debt collector mengejar target dari perusahaan. Selain itu, buku saku LBH Jakarta tahun 2020 menyarankan korban untuk tetap tenang dan mengambil langkah hukum, seperti membuat laporan pidana ke kepolisian.

Hak Konsumen yang Dilindungi Hukum

Peminjam memiliki hak fundamental yang wajib dilindungi, dan mereka harus tahu bahwa mereka tidak perlu menghadapi intimidasi.

  1. Hak untuk Tidak Diintimidasi: Menurut hukum dan aturan OJK, debt collector dilarang menggunakan ancaman, kekerasan fisik atau verbal, dan tindakan memalukan dalam proses penagihan.
  2. Batasan Waktu Penagihan: Penagihan hanya boleh dilakukan pada pukul 08.00 hingga 20.00 waktu setempat, kecuali ada perjanjian lain.
  3. Hanya Menagih kepada Peminjam: Debt collector dilarang menagih kepada pihak lain selain peminjam, termasuk kontak darurat.
  4. Perlindungan Data Pribadi: Penyebaran data pribadi peminjam adalah pelanggaran serius yang dapat dikenakan sanksi pidana.

Aturan Penagihan OJK dan Pasal-Pasal Pidana bagi Pelanggar

OJK telah mengeluarkan aturan tegas mengenai tata cara penagihan. Jika debt collector melanggar aturan, mereka dapat dipidanakan.

  • Pasal 368 KUHP (Pemerasan) dan Pasal 335 KUHP (Perbuatan Tidak Menyenangkan) dapat menjerat pelaku yang melakukan ancaman atau pemaksaan. Ancaman hukumannya adalah pidana penjara paling lama 9 tahun. Hukuman ini dapat lebih berat jika pemerasan disertai dengan kekerasan yang menyebabkan cedera serius atau kematian.
  • UU ITE Pasal 32 juncto Pasal 48 dapat digunakan untuk menjerat debt collector atau lembaga pinjol yang menyebarkan data pribadi atau melakukan pelecehan siber. Sanksi pidananya bisa berupa penjara 1 hingga 4 tahun dan denda 1 hingga 10 miliar rupiah.
  • Pasal 36 UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik juga melarang segala bentuk penyebaran data pribadi tanpa izin. Ancaman hukumannya adalah pidana penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak Rp1 miliar.

Penyelesaian Masalah Hingga Akarnya: Ketimpangan Sosial dan Kriminalitas

Untuk mengatasi masalah ini secara permanen, pemerintah tidak hanya perlu memperkuat pengawasan dan penegakan hukum, tetapi juga mengatasi akar masalahnya, yaitu ketimpangan sosial yang mendalam dan menjadi pemicu kriminalitas. Data menunjukkan bahwa kekerasan oleh debt collector dan tingginya angka kriminalitas di Indonesia memiliki korelasi yang kuat dengan ketimpangan ekonomi dan pendidikan.

  • Pendidikan dan Kesejahteraan yang Tidak Merata di Indonesia Timur

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2020, tingkat putus sekolah di Indonesia Timur mencapai 4,37%, lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat putus sekolah di wilayah barat Indonesia yang sebesar 3,52%. Rendahnya kualitas pendidikan di wilayah seperti Papua disebabkan oleh keterbatasan infrastruktur, minimnya fasilitas, dan kualifikasi guru yang rendah (sumber: kitongbisa.org).

Masalah serupa juga dialami oleh provinsi lain. Pada tahun 2019, DPRD Maluku bahkan mengakui bahwa pembangunan di daerah mereka menyisakan banyak tantangan, termasuk rendahnya kualitas pendidikan, tingginya tingkat kemiskinan dan pengangguran. Kondisi ini tercermin dalam Indeks Pembangunan Manusia (IPM), di mana provinsi di Indonesia bagian timur, seperti Papua Pegunungan dan Papua Tengah, menempati peringkat terendah secara nasional pada tahun 2024. Sementara itu, meskipun IPM terus meningkat, Nusa Tenggara Timur (NTT) masih menghadapi tantangan serius dengan rata-rata lama sekolah yang rendah (hanya mencapai kelas 7 pada tahun 2017) dan masih menyisakan masalah buta huruf. Tantangan ini diperparah oleh kondisi geografis, tingkat ekonomi yang rendah, serta kurangnya tenaga pengajar dan fasilitas Pendidikan.

  • Kriminalitas yang Dipicu oleh Kemiskinan dan Ketimpangan

Hubungan antara kemiskinan, ketimpangan, dan kriminalitas telah diakui oleh banyak studi. Sebuah penelitian dari Jurnal Sosial dan Sains (Maret 2025) menemukan bahwa pendidikan rendah, pengangguran, dan tekanan ekonomi adalah faktor utama yang mendorong tindakan kriminal, termasuk kejahatan ekonomi seperti pencurian.

Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) juga menunjukkan bahwa jumlah kejahatan di Indonesia melonjak tajam menjadi 372.965 kasus pada tahun 2022. Meskipun tidak semua terkait utang, tingginya angka ini mengindikasikan adanya tekanan sosial dan ekonomi yang menjadi pemicu utama. GoodStats (April 2025) bahkan menempatkan Indonesia di urutan kedua ASEAN sebagai negara dengan skor kriminalitas tertinggi. Tingkat kriminalitas di NTT juga menunjukkan peningkatan dengan 10.702 kasus pidana pada tahun 2024, di mana kasus penganiayaan dan pencurian menjadi yang paling dominan, mencerminkan adanya gejolak sosial yang perlu diatasi.

Krisis kekerasan oleh debt collector adalah cerminan dari ketimpangan dan kelemahan dalam sistem. Perlindungan konsumen harus menjadi prioritas utama. Negara wajib melindungi warganya dari praktik penagihan yang jahat. Hal ini tidak hanya memerlukan penguatan regulasi dan penegakan hukum yang lebih tegas, tetapi juga edukasi literasi keuangan yang masif dan penyediaan dukungan psikologis serta sosial yang komprehensif bagi para korban.

Namun, penyelesaian fundamentalnya adalah dengan mengatasi ketimpangan sosial dan ekonomi, terutama di daerah yang tertinggal. Dengan memberikan akses yang setara ke pendidikan berkualitas dan peluang karir yang layak, masyarakat tidak akan mudah terjerumus dalam jeratan utang atau terpaksa menjadi bagian dari kelompok premanisme. Ini adalah langkah fundamental untuk menciptakan ekosistem sosial dan ekonomi yang sehat, adil, dan berkesinambungan bagi seluruh warga negara.

“Hanya dengan pendekatan multisektoral dan kolaboratif, yang melibatkan seluruh elemen pemerintah dan masyarakat, Indonesia dapat menciptakan ekosistem pinjaman yang sehat, adil, dan benar-benar melindungi hak serta martabat setiap warga negaranya,” tutup Ibnu Haykal, Ketua Yayasan Pro Publika.

Pro Publika adalah inisiatif Corporate Social Responsibility (CSR) dari Magpie Public Relations, sebuah agensi public relations yang menjadi partner bagi banyak brand berkembang pesat meraih pangsa pasar dan pengakuan industri, serta menjadi pionir dalam memperkenalkan teknologi inovatif seperti 5G dan cloud computing di Indonesia. Berlandaskan pada semangat keberlanjutan, Pro Publika merefleksikan komitmen Magpie Public Relations untuk bertanggung jawab penuh terhadap lingkungan, masyarakat, dan komunitas di mana mereka beroperasi, demi menciptakan dampak positif yang berkelanjutan bagi publik. Hubungi work@magpiepublicrelations.com atau kunjungi www.magpiepublicrelations.id

Cilacap Info
IKUTI BERITA LAINNYA DIGOOGLE NEWS

Berita Terkait