Magelang – Hukum seharusnya jadi pelindung, bukan penonton. Tapi buat banyak perempuan di Indonesia, terutama yang jadi korban kekerasan seksual, hukum justru terasa seperti jebakan.
Mereka datang untuk mencari keadilan, tapi malah disambut dengan kecurigaan, penghakiman, bahkan tekanan untuk “damai saja”. Jadi pertanyaannya: hukum ini melindungi perempuan, atau justru meninggalkannya?
Ketika Regulasi Ada, Tapi Perlindungan Tak Terasa
Di atas kertas, Indonesia punya banyak aturan soal perlindungan perempuan. Tapi di lapangan, kenyataannya jauh dari harapan. Ketimpangan struktural, budaya patriarki, dan perilaku aparat penegak hukum yang bias sering kali menjadikan perempuan bukan sebagai pihak yang dilindungi, melainkan pihak yang dipersalahkan.
Perempuan yang datang sebagai korban justru diinterogasi seolah-olah mereka pelaku. Dipertanyakan bajunya, ditanya kenapa tidak melawan, bahkan dituduh “mengundang” kejadian itu.
Bisa dibayangkan betapa hancurnya mental korban yang sebelumnya sudah trauma, kini harus menghadapi pertanyaan menyakitkan dari aparat penegak hukum (APH) yang seharusnya melindungi.
Playing Victim Blaming, Jalan Damai, dan Pasal Seadanya
Dalam kasus kekerasan seksual, bukan rahasia lagi kalau banyak korban akhirnya tidak melanjutkan proses hukum karena merasa makin tersudut. Mereka menghadapi victim blaming, bahkan bujukan untuk berdamai. Seolah-olah kekerasan seksual bisa diselesaikan dengan permintaan maaf atau uang damai.
Yang lebih menyakitkan lagi, pelaku justru sering dijerat dengan pasal seadanya, bukan pasal yang benar-benar mencerminkan beratnya kejahatan yang dilakukan. Akibatnya, hukuman jadi ringan, dan korban merasa perjuangannya sia-sia.
Ini semua menunjukkan bahwa kita belum punya sistem hukum yang benar-benar berpihak pada korban kekerasan seksual. Masih banyak celah, masih banyak kebijakan yang belum sensitif gender, dan belum ada keberpihakan nyata dari lembaga penegak hukum.
Lex Specialist: Kebutuhan yang Sudah Terlalu Lama Ditunda
Kita butuh lex specialist—aturan hukum yang khusus menangani kasus kekerasan seksual, lengkap dengan perspektif korban dan prosedur yang aman. Tanpa ini, aparat akan terus menjatuhkan pasal asal-asalan, proses hukum tetap menyakitkan, dan keadilan bagi perempuan hanya akan jadi angan-angan.
Di sinilah peran penting pendamping hukum dan lembaga bantuan hukum untuk memastikan bahwa korban mendapatkan perlindungan maksimal. Tapi yang paling utama adalah komitmen negara: untuk hadir, melindungi, dan memastikan bahwa setiap perempuan yang mencari keadilan tidak malah dilukai lagi oleh sistem hukum yang bias.
Kalau Bukan Negara yang Lindungi, Lalu Siapa?
Negara punya tanggung jawab besar. Bukan cuma membuat undang-undang, tapi memastikan implementasinya berjalan dengan benar. Bukan cuma kampanye kesetaraan gender saat peringatan Hari Perempuan Internasional, tapi hadir setiap hari dalam sistem hukum, lembaga penegakan hukum, hingga ruang sidang.
Pemerintah harus berani mengambil langkah konkret—mulai dari memperkuat regulasi, melatih aparat hukum dengan perspektif korban, hingga membangun mekanisme yang adil dan aman bagi perempuan dalam setiap proses hukum.
Kalau hukum masih saja membuat perempuan takut untuk melapor, maka hukum itu gagal menjalankan fungsinya. Sudah saatnya kita tanya ulang: di Indonesia ini, keadilan milik siapa?
*) Artikel ini adalah kiriman dari Nesya Azzahra, Mahasiswi Prodi Hukum, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Tidar.


